Kemenag Tegaskan Keakuratan Waktu Subuh: Berbasis Sains, Observasi Lapangan, dan Rujukan Fikih

0
29
Ilustrasi manfaat puasa senen kamis

KabarLagi.Com–Kementerian Agama (Kemenag) kembali memberikan klarifikasi terkait dasar penentuan waktu Subuh yang digunakan secara nasional. Penjelasan ini disampaikan di tengah meningkatnya diskusi publik mengenai derajat posisi Matahari saat munculnya Fajar Shadiq. Kemenag menegaskan bahwa jadwal salat tidak disusun berdasarkan asumsi, melainkan melalui proses panjang yang melibatkan ilmu falak modern, pengamatan berulang di berbagai daerah, serta penelaahan fikih dari berbagai mazhab.

Direktur Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah, Arsad Hidayat, menerangkan bahwa para ulama sejak dahulu telah menggambarkan Fajar Shadiq sebagai sinar putih horizontal yang melebar di ufuk timur sebagai batas awal Subuh. Gambaran tekstual ini, menurut Arsad, bukan dijadikan acuan tunggal, tetapi diuji kembali dengan metode astronomi agar dapat ditentukan secara kuantitatif.

“Definisi fikih memberi gambaran apa itu fajar, sementara astronomi menjelaskan kapan ia muncul. Keduanya tidak bisa dipisahkan,” jelasnya di Jakarta pada Senin (1/12/25). Arsad menambahkan, angka –20° yang digunakan Indonesia lahir dari rangkaian musyawarah para ahli hisab dan diskusi keagamaan yang berlangsung bertahun-tahun.

Menurutnya, kondisi atmosfer tropis Indonesia sangat berpengaruh terhadap bentuk dan intensitas cahaya fajar. Kelembaban tinggi, ketebalan udara, serta polusi cahaya membuat kemunculan fajar di Indonesia berbeda dari negara lintang sedang. Pengamatan di berbagai daerah menunjukkan pola yang sama: fajar mulai terlihat ketika Matahari berada di kisaran –19° hingga –20°.

“Inilah sebabnya standar global tidak bisa serta-merta digunakan di Indonesia. Langit kita memiliki karakter yang tidak sama,” tegasnya.

Arsad juga menggarisbawahi bahwa Kemenag selalu membuka kesempatan bagi akademisi dan ormas Islam untuk memeriksa data. Seluruh dokumentasi pengamatan, mulai dari rekaman kamera hingga laporan analisis, tersedia untuk dikaji publik. Ia menilai tudingan manipulasi data tidak memiliki dasar, mengingat seluruh proses dilakukan secara terbuka dan melibatkan banyak pihak.

“Negara tidak punya kepentingan apa pun kecuali memastikan ibadah umat dilaksanakan pada waktu yang tepat,” katanya.

Ia menilai perbedaan hasil penelitian terkait derajat fajar justru merupakan bagian dari dinamika keilmuan. “Ada penelitian yang menunjukkan –18°, ada juga yang menemukan nilai lebih kecil. Itu wajar. Tapi negara harus memilih satu standar agar masyarakat memiliki kepastian. Pilihan itu kami ambil berdasarkan data empiris dari berbagai wilayah,” ujarnya.

Sementara itu, Kasubdit Hisab Rukyat dan Syariah, Ismail Fahmi, menjelaskan proses verifikasi teknis yang dilakukan tim Kemenag. Menurutnya, pengamatan tidak mengandalkan mata telanjang saja, tetapi juga instrumen sensitif cahaya rendah, pengukuran intensitas cahaya, dan analisis kurva perubahan cahaya yang dikaitkan dengan posisi Matahari.

“Kami memastikan cahaya yang muncul benar-benar fajar astronomis, bukan bias cahaya kota atau fenomena cahaya lain yang mirip,” kata Ismail.

Ia menyebutkan bahwa pengamatan harus dilakukan di tempat-tempat yang minim gangguan cahaya, seperti pesisir, bukit, dan daerah dengan pandangan horizon timur yang bersih dari hambatan. Hal ini dilakukan untuk mengurangi potensi kekeliruan akibat pantulan lampu atau polusi cahaya.

Dalam beberapa tahun terakhir, tim Kemenag telah melakukan serangkaian observasi di berbagai daerah, termasuk Labuan Bajo, Jombang, Riau, dan Sulawesi Selatan. Hasilnya seragam: fajar teramati pada derajat Matahari sekitar –19° hingga –20°.

“Pengamatan kami dilakukan berulang di musim berbeda, menggunakan peralatan yang sama, dan hasilnya konsisten,” ujarnya.

Ismail juga membantah berbagai tuduhan manipulasi data yang muncul di ruang digital. Ia menegaskan bahwa seluruh proses kerja telah disampaikan dalam forum resmi bersama pakar astronomi, ormas Islam, dan akademisi dari berbagai universitas.

Ia menutup keterangannya dengan menegaskan bahwa penetapan waktu ibadah harus memenuhi unsur akurasi ilmiah sekaligus kepastian hukum. “Kami bekerja dengan metodologi yang jelas, data yang dapat diverifikasi, dan prinsip kehati-hatian. Tujuannya hanya satu—agar umat Islam dapat beribadah dengan keyakinan penuh,” tutupnya. Sumber Website resmi Kemenag RI