MBG, Siswa Miskin dan Pestisida

0
49

 

Oleh : Dr. Ahmad Fathoni, C.EIA

(Dosen Universitas Muhammadiyah Mataram)

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diluncurkan sejak Januari 2025 oleh pemerintah Indonesia adalah sebuah langkah progresif dalam menjamin hak pangan dan kecukupan gizi anak usia sekolah di Indonesia. Berdasarkan data BPS per Maret 2025 jumlah penduduk miskin 23,85 juta jiwa atau 8,47%. Sedangkan jumlah penduduk yang sedang bersekolah 16,77 juta jiwa. Saat ini semua siswa direncanakan akan menjadi penerima MBG. Persoalan MBG pertama harusnya hanya 8,47% dari 16,77 juta jiwa siswa atau 1,42 juta jiwa siswa miskin saja yang memiliki hak wajib menerima MBG dan yang lainnya sunnah. Penerima MBG harusnya dibatasi hanya untuk siswa miskin bukan semua siswa karena keterbatasan anggaran agar tidak memangkas anggaran pemerintah daerah, serta perlu diingat bahwa siswa kaya tidak kekurangan gizi dan telah jenuh dengan makan enak sehingga tidak membutuhkan MBG.

Pro kontra dalam diskusi MBG terus bergulir, tapi penulis lebih focus pada pertanyaan apakah MBG mempengaruhi garis kemiskinan?, jika pada maret 2025 garis kemiskinan makanan Rp.425.719 dan garis kemiskinan bukan makanan Rp. 142.310 dan total garis kemiskinan adalah Rp. 558.029 per kapita per bulan. Jika seorang siswa miskin memperoleh 25 hari MBG selama 1 kali makan sehari, maka MBG secara teori telah mengurangi garis kemiskinan makanan sebesar 41,66% karena mereka masih butuh makan sore/malam setiap hari dan makan siang dan sore/malam pada sekolah libur di hari Minggu.

Nyatanya orang tua siswa yang mendapat MBG masih memasak seperti biasa dengan jumlah biaya masak yang tetap. MBG memang membantu perbaikan gizi siswa sekolah, namun hal itu tidak berdampak terhadap anggaran makan rumah tangga siswa. Rumah tangga siswa miskin masih membutuhkan anggaran untuk memenuhi garis kemiskinan makanan dengan jumlah tetap. Di sinilah dibutuhkan solusi MBG dimasak oleh para orang tua siswa miskin, bukan oleh yayasan atau kantin sekolah, agar dana MBG berkontribusi sebagai bantuan untuk mengurangi beban garis kemiskinan makanan pada keluarga siswa miskin.

Persoalan MBG kedua adalah makanan yang diberikan bukan hanya bergizi tetapi harus aman dan bebas kontaminan, terutama dari residu pestisida sebagai salah satu penyebab keracunan MBG. Studi‐studi di Indonesia menemukan bahwa sayuran seringkali terkontaminasi residu pestisida melebihi atau mendekati batas maksimum yang diperbolehkan. Sebagai contoh, penelitian menguji 16 jenis sayuran pada 32 sampel dan menemukan residu pestisida golongan organofosfat dan organoklorin yang kadarnya melebihi ambang tertentu. Penelitian lain tentang kubis, tomat, dan wortel juga menunjukkan bahwa ada insiden residu pestisida, meskipun dalam beberapa kasus masih di bawah ambang baku.

Dampak residu pestisida terhadap kesehatan terutama pada anak-anak tidak bisa dianggap sepele. Paparan berkala terhadap pestisida apalagi yang bersifat organofosfat atau organoklorin dapat memengaruhi sistem saraf, sistem reproduksi, hormon, dan fungsi metabolik secara umum. Penelitian di kawasan pertanian pengetahuan masyarakat tentang bahaya pestisida masih rendah; banyak orang tidak mengetahui efek jangka panjang dari pestisida dan cara pencegahannya. Ini berarti bahwa meskipun MBG diberikan secara gratis dan bergizi, faktor keamanan bahan pangan dan edukasi cara mengurangi residu pestisida di dapur MBG menjadi krusial agar dampak pestisida tidak lebih besar dari gizi bahan pangan yang ada.

Kedepan program MBG harus berbenah bukan dihentikan, dalam konteks solusi bukan saja membatasi penerima hanya pada siswa miskin, tetapi juga kebijakan yang mempekerjakan kelompok orang tua siswa miskin sebagai juru masak. Kebijakan MBG berikutnya harus mewajibkan bahan pangan yang digunakan bebas dari pestida dan diperoleh dari petani gurem, petani miskin serta berasal dari system pertanian organic yang lebih sehat dan bergizi.