Oleh: Edy Kurniawansyah
(Mahasiswa S3 Program Studi Doktor Universitas Pendidikan Ganesha)
Perkembangan filsafat pendidikan sebagai disiplin ilmu dapat ditelusuri dari masa klasik, khususnya pada era Yunani Kuno sekitar abad ke-5 sebelum Masehi. Filsafat ilmu memberikan pendasaran logis terhadap metode keilmuan. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yaitu pertama manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut.
Dalam pandangan klasik, filsafat menjadi induk dari segala ilmu. Pendidikan berakar pada pandangan filosofis tentang manusia (ontologi), pengetahuan (epistemologi), dan nilai (aksiologi). Tujuan pendidikan klasik adalah mencapai eudaimonia atau kebahagiaan sejati melalui kesempurnaan akal dan moral (Suaedi, 2016). Tiga tokoh utama yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles membangun dasar pemikiran manusia, pengetahuan, dan pendidikan. Berbagai teori pendidikan modern seperti idealisme, realisme, dan humanisme berasal dari gagasan mereka. Bukan hanya epistemologis (hakikat pengetahuan) tetapi juga aksiologis (tujuan moral dan nilai pendidikan) yang dibahas dalam filsafat pendidikan klasik. Oleh karena itu, ide-ide mereka masih relevan dan berdampak hingga hari ini (Mohanty, Alam, & Alam, 2020).
Socrates menganggap pendidikan sebagai proses internalisasi nilai moral melalui refleksi diri (know thyself), bukan sekadar pembelajaran guru kepada siswa. Ia menegaskan bahwa pengetahuan sejati adalah kebajikan (virtue), dan orang yang berpengetahuan akan bertindak baik (Tarigan, Firman, & Ahmad, 2021). Pemikiran Socrates ini meletakkan dasar untuk konsep pendidikan moral, yang menekankan kesadaran diri dan tanggung jawab moral seseorang.
Plato murid Socrates melanjutkan dan memperluas pemikiran gurunya melalui sistem filsafat idealisme. Plato menjelaskan dalam karyanya The Republic bahwa pendidikan memiliki peran strategis dalam mewujudkan keadilan sosial dan moral di negara. Menurut Plato, pendidikan adalah proses mengarahkan jiwa manusia untuk mencapai idea kebaikan (the idea of the good), yaitu bentuk tertinggi dari realitas dan kebenaran universal (Plato, 2003). Menurut Plato, hanya melalui pendidikan yang baik orang dapat mencapai keharmonisan antara aspek rasional, emosional, dan nafsu dalam diri mereka. Akibatnya, ia membuat sistem pendidikan berjenjang, mulai dari pendidikan dasar yang dimaksudkan untuk membangun moralitas hingga pendidikan filsafat yang ditujukan untuk calon pemimpin atau raja filsuf. Konsep ini menunjukkan gagasan bahwa pendidikan memiliki aspek sosial dan politik selain aspek individual.
Aristoteles mengembangkan pendekatan pendidikan yang lebih empiris dan realistis, berbeda dengan Plato. Ia percaya bahwa selain berpikir tentang ide-ide abstrak, manusia dapat mencapai kesempurnaan dengan melakukan kebajikan dalam kehidupan sehari-hari. Aristoteles menyatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk menciptakan karakter dan kebiasaan yang baik (ethos), karena kebajikan moral diperoleh melalui latihan dan pembiasaan (Aristotle, 2009). Menurutnya, karena manusia adalah makhluk rasional dan sosial, pendidikan harus menyeimbangkan perkembangan akal (logos) dan etika (ethos) untuk mencapai eudaimonia, yaitu kebahagiaan tertinggi sebagai tujuan hidup manusia. Menurut pemikiran Aristoteles, pendidikan adalah proses pembentukan manusia secara intelektual, moral, dan sosial.
Pandangan filsuf klasik masih relevan sebagai dasar untuk paradigma pendidikan humanistik kontemporer. Pendidikan cenderung lebih pragmatis dan teknokratis di era digital dan globalisasi. Seringkali, tujuan untuk mencapai kesuksesan akademik dan ekonomi mengabaikan prinsip-prinsip kemanusiaan, moralitas, dan etika. Pertama, ide tentang pendidikan moral Socrates sejalan dengan ide tentang pendidikan untuk karakter yaitu pendidikan yang ditujukan untuk menumbuhkan kesadaran dan tanggung jawab moral seseorang. Metode Socrates dapat digunakan dalam pendidikan modern dalam bentuk diskusi kritis atau pembelajaran berbasis masalah, yang mendorong siswa untuk berpikir kritis dan etis (Tarigan et al., 2021). Kedua, perspektif Plato tentang idealisme berkontribusi pada pembangunan konsep pendidikan yang berfokus pada nilai dan keadilan sosial. Pendidikan tidak hanya menghasilkan pekerja, tetapi juga menghasilkan individu yang bermoral dan dapat menegakkan prinsip-prinsip universal seperti keadilan dan kejujuran (Mohanty et al., 2020). Hal ini penting untuk mengatasi degradasi moral yang disebabkan oleh budaya hedonistik dan instan. Ketiga, teori realitas empiris Aristoteles dapat berfungsi sebagai dasar untuk pendidikan yang didasarkan pada pengalaman dan praktik kebajikan. Program penguatan karakter, pelatihan kepemimpinan, dan kegiatan sosial di sekolah adalah beberapa cara dimana prinsip pembiasaan moral dapat diterapkan. Untuk menghasilkan lulusan yang tidak hanya pintar tetapi juga bermoral, pendidikan modern harus mempertimbangkan aspek moral dan intelektual. Hasanah (2022) mengaitkan pemikiran Aristoteles dan Socrates dalam konteks modern pendidikan adalah proses intelektual sekaligus etis.
Dalam perspektif klasik, pengetahuan tanpa moral dianggap sia-sia. Freire (2008), berpijak pada semangat klasik pendidikan sebagai pembebasan dan pencarian kebijaksanaan. Dalam konteks klasik, hal ini selaras dengan pandangan Socrates bahwa pengetahuan adalah jalan menuju kebebasan batin. Selain itu, filsafat pendidikan klasik memberikan inspirasi untuk pemulihan peran guru sebagai pembimbing intelektual dan moral. Guru tidak hanya berfungsi sebagai pendidik tetapi juga sebagai contoh moral. Dalam pendidikan modern, gagasan guru sebagai agen moral sejalan dengan gagasan ini, yang menempatkan guru sebagai peran penting dalam pembentukan karakter siswa (Saha, 2015). Tujuan pendidikan nasional yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 di Indonesia sejalan dengan nilai-nilai pendidikan klasik. Tujuan tersebut adalah untuk mengembangkan individu-individu yang beriman, bertakwa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab.
Dalam konteks modern, pemikiran filsafat pendidikan klasik tetap relevan karena menyentuh persoalan fundamental tentang nilai, moralitas, dan tujuan hidup manusia. Saat ini pendidikan sering terjebak dalam perspektif pragmatis yang menekankan efisiensi, persaingan, dan orientasi pasar. Pendidikan dilihat lebih sebagai proses pembentukan karakter dan kemanusiaan daripada sebagai alat untuk mencapai kesuksesan ekonomi. Di berbagai tingkat pendidikan, dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, fenomena ini menyebabkan kehancuran prinsip dan etika. Ketika manusia diperlakukan hanya sebagai sumber daya yang harus produktif secara ekonomi, dehumanisasi terjadi dalam pendidikan (Mohanty et al., 2020). Dalam situasi semacam ini, refleksi terhadap filsafat pendidikan klasik menjadi sangat penting. Untuk mengembalikan pendidikan ke tujuannya yang sebenarnya memanusiakan manusia dapat digunakan prinsip-prinsip yang dipegang oleh para filsuf klasik.
Pendidikan modern dapat menggunakan konsep introspeksi moral Socrates, idealisme nilai kebaikan Plato, dan teori kebajikan Aristoteles untuk menumbuhkan kesadaran moral, rasionalitas, dan tanggung jawab sosial siswa. Pendidikan harus dilihat kembali sebagai sarana untuk membangun karakter dan kebajikan, bukan semata-mata proses memperoleh gelar atau keterampilan teknis. Oleh karena itu, mempelajari filsafat pendidikan klasik sangat penting untuk memahami pendidikan secara historis serta untuk menata kembali pendidikan saat ini agar sesuai dengan tujuan utamanya, membentuk manusia yang cerdas, bermoral, dan berkarakter. Revitalisasi nilai-nilai klasik dalam sistem pendidikan modern akan membantu menciptakan generasi yang tidak hanya berpendidikan, tetapi juga bijaksana dalam menggunakan pengetahuan mereka untuk kepentingan bersama.
Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan nasional tidak hanya berfokus pada kemampuan kognitif, tetapi juga membangun karakter dan peradaban bangsa yang mulia. Kristiawan (2016) menghubungkan konsep kalokagathia keindahan jasmani dan kebajikan rohani dengan pendidikan modern. Pendidikan klasik tidak memisahkan ilmu dan moral, melainkan menggabungkan keduanya dalam kesempurnaan manusia. Knight (2007) menegaskan pentingnya dimensi filosofis dalam pendidikan, terutama dalam merancang tujuan pendidikan yang humanis dan etis. Pandangan ini menghidupkan kembali semangat klasik pendidikan sebagai perjalanan menuju kebijaksanaan (wisdom), bukan sekedar kecerdasan intelektual. Oleh karena itu, dimensi humanistik dalam pendidikan dapat diperkuat dengan memasukkan prinsip-prinsip filsafat pendidikan klasik ke dalam sistem pendidikan modern. Pendidikan masa kini dapat menjadi sarana untuk membangun masyarakat yang berpengetahuan, bermoral, dan berkeadilan dengan menghidupkan kembali semangat paideia, pendidikan sebagai pembentukan manusia seutuhnya.