Oleh; Edy Kurniawansyah
Mahasiswa S3 Universitas Pendidikan Ganesha
Selama bertahun-tahun, pola sistem pendidikan kita di Indonesia dibangun diatas paradigma tradisional yang dimana guru diposisikan sebagai sumber kebenaran tunggal. Dalam model tersebut, sering sekali guru menjadi pusat pembelajaran (teacher centered learning), sedangkan siswa lebih banyak berperan pasif karena hanya sebagai penerima informasi.
Model ini erat kaitannya dengan filosofi guru digugu lan ditiru yang menempatkan guru sebagai sosok otoritatif baik dalam ranah akademik maupun moral. Perubahan paradigma pendidikan mengalami pergeseran signifikan dalam dua dekade terakhir. Jika pada masa lalu guru dipandang sebagai satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran di ruang kelas. Maka, memasuki era globalisasi dan revolusi industri 4.0 bahkan 5.0, paradigma ini tidak lagi relevan. Akses informasi yang semakin terbuka, kemajuan teknologi digital, serta tuntutan kompetensi abad ke-21 (critical thinking, collaboration, creativity, dan communication) menuntut perubahan mendasar dalam dunia pendidikan.
Kini, pendidikan tidak lagi menekankan transfer pengetahuan semata, melainkan pembentukan kemampuan berpikir kritis dan karakter peserta didik. Guru lebih sebagai fasilitator, kolaborator, dan pembimbing dalam proses belajar yang lebih aktif dan partisipatif. Perkembangan teknologi informasi, perubahan sosial, serta kebijakan pendidikan seperti Kurikulum Merdeka ini menjadi salah satu faktor utama yang mendorong transformasi di dunia Pendidikan.
Transformasi ini, tentunya menandai munculnya “wajah baru dunia pendidikan Indonesia”, di mana guru tidak lagi menjadi satu-satunya sumber kebenaran, melainkan mitra belajar yang membimbing siswa untuk menemukan, mengolah, dan menginterpretasikan pengetahuan secara aktif, mandiri dan bermakna.
Perubahan ini tentu tidak terjadi secara bim-silabim, melainkan adanya proses panjang yang dipengaruhi oleh perkembangan global, kebijakan pemerintah, serta perubahan sosial budaya yang cepat. Jika kita tengok kebelakang terutama diawal abad ke-21, pola pembelajaran di sekolah sungguh masih sangat terpusat pada guru. Dimana guru menjadi pengendali penuh terhadap jalannya pembelajaran, sedangkan siswa diharapkan menghafal materi untuk keperluan ujian baik ujian harian Tengah semester dan ujian semester. Sistem ini menghasilkan lulusan yang cenderung pasif dan kurang kreatif serta kurang berkompetisi di dunia global.
Untuk menjawab prablematika tersebut, kehadiran Kurikulum 2013 (K-13) menjadi langkah awal untuk mengubah pola ini. Dimana K-13 menekankan pada pendekatan scientific learning dan penguatan karakter. Namun, perubahan yang paling nyata dan signifikan terjadi dapat dilihat pada implementasi Kurikulum Merdeka (KM) yang mulai diimplementasikan secara nasional sejak tahun 2022. Kurikulum ini menekankan betapa urgensinyaa student centered learning, otonomi guru dalam merancang pembelajaran, serta fleksibilitas peserta didik dalam mengeksplorasi minat dan bakat sendiri secara mandiri.
Melihat paradigma pendidikan modern, dimana guru berperan sebagai fasilitator, pembimbing, dan mitra strategis belajar siswa. Hal ini menandakan bahwa peran guru bukan lagi sebagai transfer informasi, melainkan untuk menciptakan lingkungan belajar yang kondusif serta mendorong partisipasi aktif siswa dalam berpikir kritis dan kreatif.
Dalam menjalan perannya sebagai fasilitator, maka guru harus menyediakan sarana sumber belajar yang beragam, termasuk buku dan media digital serta pengalaman lapangan. Kemudian guru mendorong siswa untuk aktif bertanya, meneliti, dan bereksperimen, memberikan bimbingan dalam proses berpikir dan mecahkan masalah. Guru juga harus bisa membangun suasana belajar yang kolaboratif, dimana siswa dapat saling berbagi pikiran dan pandangan antar sesama, hasil dari itu dapat di eksplorasi secara langsung dalam kehidupan yang nyata.
Dengan pola yang seperti ini, maka guru tidak lagi berperan sebagai penceramah tunggal di depan kelas semata sebagaiman yang sela ini dilakoni, melainkan guru harus berperan lebih sebagai pemimpin diskusi aktif yang membantu siswa mengembangkan self directed learning. Peran ini menuntut guru memiliki kemampuan pedagogik yang adaptif, melek teknologi, serta memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Dengan demikian, guru kini tidak lagi menjadi satu-satunya sumber pengetahuan, tetapi berperan sebagai fasilitator pembelajaran yang dapat membantu siswa dalam mengonstruksikan pemahaman berdasarkan pengalaman empiris dan eksplorasi sendiri.
Dalam meimplementasikan peran penting guru diatas, tentu terdapat sejumlah tantangan yang luar biasa baik dari sisi profesionalitasme guru maupun sistem Pendidikan itu sendiri.
Adapun tantangan-tangan tersebut misalnya: Pertama, Kesiapan Kompetensi Guru. kita ketahui bersama bahwa tidak semua guru akan siap menghadapi perubahan paradigma ini. Banyak guru yang masih terbiasa dengan metode ceramah konvensional. Maka diperlukan pelatihan berkelanjutan agar guru mampu beradaptasi dengan teknologi dan metode pembelajaran baru yang memajukan. Kedua, Keterbatasan Infrastruktur Digital. Di negara kita, masih banyak terdapat daerah-daerah terpencil yang dimana akses internet dan perangkat digital masih terbatas dan jauh dari yang diharapkan. Maka ini akan menjadi factor penghambat penerapan pembelajaran berbasis teknologi yang sejatinya mendukung peran baru guru sebagaimana yang telah dijelaskan diatas. Ketiga, Kendala Evaluasi Pembelajaran. Perubahan paradigma sudah barang tentu menuntut sistem evaluasi intens yang menilai proses dan kompetensi, tidak lagi hanya sekedar soal hasil akhir. Namun faktanya, sampai saat ini bahwa masih banyak sekolah yang bergantung pada hasil ujian tertulis sebagai tolok ukur utama keberhasilan belajar siswa. Keempat. Resistensi Budaya dan Persepsi Masyarakat. Dalam tradisi budaya yang masih menempatkan guru menadi figur otoritatif, maka perubahan peran ini kadang kala bisa menimbulkan resistensi baik dari guru sendiri maupun orang tua siswa yang sering mengasumsikan bahwa guru kehilangan wibawa.
Tidak adil rasanya jika kita menyoroti pada aspek tantangannya saja, akan tetapi dibalik tantangan pasti terdapat faktor pendorong perubahan peran guru, misalnya; adanya perkembangan teknologi informasi. Dimana akses internet dan berbagai media digital memberikan kesempatan luas bagi siswa untuk mendapatkan informasi dari berbagai sumber sesuai dengan kebutuhannya. Situs ilmiah, video pembelajaran, aplikasi edukatif, hingga kecerdasan buatan seperti ChatGPT membuat pengetahuan menjadi lebih open dan mudah diakses.
Guru tidak lagi menjadi satu satunya penyedia informasi, melainkan menjadi pengarah dalam memilah dan memvalidasi kebenaran informasi yang diperoleh siswa itu sendiri. Kemudian Kebijakan Kurikulum Merdeka dan Tuntutan Kompetensi Abad ke-21. Kurikulum Merdeka mendorong pembelajaran berbasis proyek (Project Based Learning) dan diferensiasi pembelajaran sesuai kebutuhan siswa. Ini menuntut guru untuk lebih fleksibel dan berorientasi pada pengembangan kompetensi, bukan sekadar penyelesaian materi ajar belaka.
Sementara abad ke-21 menuntut individu yang memiliki kemampuan berpikir kritis, kolaboratif, kreatif, dan komunikatif. Untuk menumbuhkan kompetensi tersebut, maka guru sangat perlu menempatkan siswa sebagai subjek aktif yang berperan dalam menemukan pengetahuan yang bermakna. Dan adanya Perubahan Sosial dan Pola Belajar Generasi Z. Dimana generasi Z dan Alpha ini tumbuh dalam lingkungan digital dengan karakteristik cepat belajar, menyukai visual, dan cenderung kritis terhadap otoritas. Guru harus mampu beradaptasi dengan gaya belajar mereka agar tetap relevan dan sejalan.
Wajah baru dunia pendidikan ini menunjukkan adanya pergeseran mendasar dari model pembelajaran teacher centered menuju pembelajaran berpusat kepada siswa (student centered learning). Guru tidak lagi menjadi sumber kebenaran tunggal, melainkan fasilitator yang membimbing dan membina siswa dalam menemukan makna dan kebenaran melalui eksplorasi dan refleksi diri.
Transformasi ini tidak hanya menuntut perubahan dalam metode mengajar guru semata, melainkan juga perubahan paradigma berpikir seluruh ekosistem pendidikan baik itu guru, siswa, orang tua, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Orang tua tidak boleh apatis terhadap perkembangan anaknya, harus lebih aktif dan kreatif dalam memantau setiap perkembangan anak. Apakah anaknya mengalami kendala atau justru mengalami peningkatan yang signifikan. Bilamana anak dilihat mengalami ada kendala, maka kewajiban orang tua untuk mencari tahu dan terus membangun komunikasi baik dengan guru agar guru dapat mengatasi dan terus memantau perubahan anak. Kolaborari yang seperti ini, sangatlah diperlukan dan menjadi kunci utama yang tidak boleh diabaikan.
Kemudian pemerintah harus menjadikan Pendidikan sebagai prioritas pertama dan utama dalam kemajuan bangsa sebab Pendidikan Adalah investasi masa depan. Pemerintah harus hadir melihat secara langusng dan mendalam apa yang menjadi kebutuhan dunia pendidikan saat ini, kesejahteraan guru, fasilitas penunjang, sarana dan prasana sekolah harus dipenuhi secara bertahap terutama di daerah yang masih tertinggal agar perubahan ini bisa diwujudkan. Tantangan yang dihadapi, seperti kesiapan guru, keterbatasan infrastruktur, dan resistensi budaya, harus dihadapi dengan kebijakan yang adaptif dan pelatihan intens yang berkelanjutan sehingga pada akhirnya, perubahan ini sejalan dengan nawacita dan tujuan pendidikan nasional kita yaitu untuk membentuk manusia Indonesia yang beriman, bertaqwa, kreatif, kritis, mandiri, bertanggungjawab dan berdaya saing global.
Pada konteks inilah, guru tetap menjadi sosok sentral utama sebagai penuntun kebijaksanaan dan pembuka jalan baru demi lahirnya generasi terpelajar sepanjang masa.
