Peringatan Hari Sumpah Pemuda:  Refleksi  Kritis tentang Eksistensi dan Pemartabatan Bahasa Indonesia

0
35

Dr. Erwin, M.Pd. Akademisi Universitas Muhamamadiyah Mataram

KabarLagi.Com-Setiap 28 Oktober, bangsa Indonesia memperingati hari bersejarah yang menandai lahirnya kesadaran kebangsaan: Sumpah Pemuda 1928. Tiga ikrar yang lahir dari kongres pemuda waktu itu bukan hanya deklarasi politik, tetapi juga pernyataan identitas kultural bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Dari ikrar tersebut, bahasa tidak sekadar menjadi alat komunikasi, melainkan simbol eksistensi dan alat pemersatu bangsa yang beragam. Namun, setelah hampir satu abad berlalu, kita perlu bertanya secara kritis: sejauh mana Bahasa Indonesia benar-benar dimartabatkan di tengah arus nasionalisasi yang stagnan dan internasionalisasi yang setengah hati?

Bahasa Indonesia lahir sebagai hasil dari kesadaran kolektif dan semangat egaliter para pemuda 1928 yang menolak dominasi kolonial dan perpecahan etnolinguistik. Mereka memilih bahasa Melayu sebagai dasar bahasa persatuan bukan karena superioritasnya, melainkan karena sifatnya yang inklusif dan adaptif. Bahasa Indonesia kemudian tumbuh menjadi simbol kebangsaan, wadah bagi peradaban baru yang lahir dari semangat persatuan dan perjuangan. Akan tetapi, seiring kemajuan zaman, eksistensi bahasa ini menghadapi ancaman baru, bukan dari kolonialisme fisik, melainkan dari kolonialisme kultural dan digital. Di media sosial, ruang publik, bahkan di kampus-kampus, Bahasa Indonesia sering terpinggirkan oleh dominasi bahasa asing yang dianggap lebih bergengsi, lebih modern, dan lebih “global”. Fenomena ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap bahasa sendiri, sebuah paradoks yang ironis di negeri yang pernah bersumpah untuk menjunjungnya.

Secara struktural, kebijakan nasionalisasi bahasa memang telah diupayakan. Pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Namun, implementasinya masih jauh dari ideal. Bahasa Indonesia sering kali hanya hadir dalam tataran formalitas administratif, bukan dalam kesadaran kultural masyarakat. Banyak instansi, lembaga pendidikan, dan media justru lebih bangga menggunakan istilah asing untuk menambah nilai prestise. Dalam konteks ini, pemartabatan Bahasa Indonesia belum menjadi gerakan kultural yang hidup, melainkan sebatas simbol seremonial tanpa ruh kebangsaan.

Lebih menyedihkan lagi, dalam konteks globalisasi dan industri pariwisata, Bahasa Indonesia belum dijadikan persyaratan atau pengenal wajib bagi para pelancong asing yang datang ke negeri ini. Wisatawan asing bebas masuk ke Bali, Lombok, Yogyakarta, atau Labuan Bajo tanpa perlu memahami satu pun kata dalam Bahasa Indonesia. Bandingkan dengan Jepang, Korea Selatan, atau Prancis yang secara konsisten menjadikan bahasa mereka sebagai prasyarat administratif dan kultural bagi siapa pun yang ingin tinggal atau bekerja di sana. Ketika wisatawan datang ke Indonesia tanpa perlu mengenal bahasa nasional, sesungguhnya negara ini sedang kehilangan kesempatan emas untuk menanamkan nilai, karakter, dan identitas melalui bahasa. Padahal, dalam diplomasi budaya, bahasa adalah pintu pertama untuk memahami jiwa sebuah bangsa. Ketika seseorang belajar mengucapkan “selamat datang” atau “terima kasih” dalam Bahasa Indonesia, ia sedang memulai langkah kecil dalam memahami keindonesiaan. Namun sayangnya, langkah kecil itu tidak pernah diwajibkan.

Fenomena tersebut mengungkap wajah paradoksal dari nasionalisme kebahasaan kita. Di satu sisi, kita berbangga dengan slogan cinta Bahasa Indonesia, tetapi di sisi lain, kita membiarkan bahasa itu kehilangan peran strategisnya dalam interaksi global. Bahasa kita hanya menjadi aksesoris domestic dihormati dalam pidato resmi, tetapi diabaikan dalam kebijakan strategis. Sementara itu, negara-negara lain justru menggunakan bahasa mereka sebagai alat diplomasi kultural, ekonomi, dan teknologi. Jepang dengan Japan Foundation, Korea dengan King Sejong Institute, dan Tiongkok dengan Confucius Institute, semuanya membangun kekuatan lunak (soft power) melalui bahasa. Indonesia seharusnya mampu melakukan hal serupa melalui penguatan program Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing (BIPA), diplomasi kebahasaan lintas kementerian, dan digitalisasi linguistik yang lebih masif. Internasionalisasi Bahasa Indonesia tidak cukup hanya dengan membuka kelas BIPA di luar negeri, tetapi juga dengan menghadirkan Bahasa Indonesia dalam ruang-ruang strategis dunia: dalam publikasi ilmiah, film, musik, diplomasi digital, dan teknologi kecerdasan buatan.

Masalah terbesar kita bukan terletak pada kemiskinan kosa kata atau lemahnya tata bahasa, melainkan pada lemahnya kebanggaan kolektif terhadap bahasa sendiri. Generasi muda Indonesia kini tumbuh di bawah bayang-bayang globalisasi yang menjadikan bahasa asing sebagai simbol kemajuan. Mereka lebih percaya diri menulis status media sosial dalam bahasa Inggris daripada menulis puisi atau esai dalam Bahasa Indonesia. Padahal, kekuatan sejati bangsa terletak pada kemampuannya mengekspresikan ide, ilmu, dan budaya dalam bahasa sendiri.