Kabarlagi.Com–Dalam sejarah Islam, terdapat kisah-kisah yang menggambarkan hubungan antara harta dan ketakwaan, baik dalam bentuk keteladanan maupun peringatan. Tiga kisah yang menarik untuk dibandingkan adalah kisah Julaibib, Sa‘labah, dan Qarun. Masing-masing memiliki perjalanan hidup yang mencerminkan sikap yang berbeda terhadap harta dan hubungannya dengan ketakwaan kepada Allah.
Julaibib adalah seorang sahabat Nabi yang hidup dalam kemiskinan. Ia tidak memiliki status sosial yang tinggi, bahkan fisiknya digambarkan tidak menarik oleh sebagian orang. Namun, Nabi Muhammad ﷺ sangat mencintainya karena ketakwaannya yang luar biasa. Suatu ketika, Rasulullah ﷺ ingin menikahkannya dengan seorang wanita salehah. Awalnya, orang tua wanita itu menolak, tetapi putri mereka menerima dengan penuh keimanan. Akhirnya, pernikahan mereka pun dilangsungkan.
Namun, sebelum sempat menikmati malam pertamanya dengan sang istri, Julaibib memilih untuk memenuhi panggilan jihad di medan perang. Dengan penuh keimanan, ia bertempur di jalan Allah hingga akhirnya gugur sebagai syahid. Setelah pertempuran usai, Rasulullah ﷺ mencari jasadnya dan menemukannya di antara para syuhada. Beliau pun menguburkannya dengan penuh kehormatan. Bahkan, dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Julaibib diperebutkan oleh para bidadari surga.
Julaibib tidak memiliki harta seperti para hartawan, tidak pula berkedudukan seperti para raja. Namun, karena ketakwaannya, Allah mengangkat derajatnya begitu tinggi. Ia menjadi contoh bahwa kemuliaan sejati tidak diukur dari kekayaan atau jabatan, melainkan dari ketakwaan yang mendekatkan seseorang kepada Allah.
Berbeda dengan Julaibib, Sa‘labah adalah seorang sahabat Nabi yang awalnya miskin tetapi sangat rajin beribadah. Ia sering berada di masjid dan meminta Nabi ﷺ untuk mendoakannya agar menjadi kaya. Awalnya, Nabi menasihatinya bahwa harta bisa menjadi ujian, tetapi Sa‘labah terus meminta. Akhirnya, doanya dikabulkan, dan ia menjadi kaya. Namun, seiring bertambahnya harta, ia mulai lalai dalam ibadah, jarang ke masjid, dan bahkan enggan membayar zakat. Akibatnya, ia mendapat teguran dari Allah, dan hartanya menjadi sebab kehancurannya.
Sementara itu, Qarun adalah contoh ekstrem seseorang yang dikaruniai kekayaan berlimpah tetapi sombong dan ingkar. Ia berasal dari kaum Bani Israil dan memiliki kekayaan yang luar biasa. Namun, ia menolak untuk berbagi kekayaannya dan mengklaim bahwa hartanya adalah hasil dari kepandaiannya sendiri, bukan pemberian Allah. Kesombongannya membuat Allah menenggelamkannya beserta seluruh hartanya ke dalam bumi sebagai bentuk azab.
Jika kita bandingkan ketiga kisah ini, Julaibib adalah sosok yang miskin tetapi memiliki ketakwaan tinggi, sehingga Allah memuliakannya. Sa‘labah, di sisi lain, awalnya saleh tetapi berubah ketika diberi harta, menunjukkan bahwa kekayaan bisa menjadi fitnah jika tidak dikelola dengan baik. Qarun adalah contoh keburukan tertinggi dari seorang kaya yang kufur dan sombong, yang akhirnya mendapatkan azab langsung dari Allah.
Pelajaran utama dari kisah-kisah ini adalah bahwa harta bukanlah ukuran utama keberkahan atau kebahagiaan dalam hidup. Julaibib yang miskin tetap bahagia dan mulia karena ketakwaannya, sedangkan Sa‘labah dan Qarun yang kaya justru tersesat karena kesombongan dan kelalaiannya.
Dalam Islam, harta adalah amanah, bukan tujuan utama hidup. Harta dapat menjadi sarana ibadah jika digunakan dengan benar, seperti untuk zakat, sedekah, dan membantu sesama. Sebaliknya, jika harta membuat seseorang lalai dari Allah, maka ia bisa menjadi ujian yang menjerumuskan ke dalam kebinasaan.
Kisah-kisah ini juga mengajarkan bahwa ketakwaan harus tetap dijaga dalam keadaan miskin maupun kaya. Julaibib membuktikan bahwa kemiskinan tidak menghalangi seseorang untuk menjadi dekat dengan Allah, sedangkan Sa‘labah menunjukkan bagaimana harta bisa mengubah seseorang jika tidak memiliki iman yang kuat.
Qarun adalah peringatan bagi orang-orang yang merasa sombong dengan harta dan menganggapnya sebagai hasil usaha sendiri tanpa mengakui campur tangan Allah. Kesombongan seperti ini yang akhirnya membuatnya hancur, menjadi bukti bahwa kekayaan tanpa keberkahan justru membawa kehancuran.
Sebaliknya, Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat yang kaya, seperti Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, menunjukkan bahwa kekayaan bisa menjadi berkah jika digunakan untuk kepentingan agama dan masyarakat. Mereka tetap rendah hati dan tidak lalai dari kewajiban mereka kepada Allah.
Pentingnya keseimbangan antara harta dan ketakwaan juga tercermin dalam ajaran Islam yang menekankan konsep qana‘ah (merasa cukup). Orang yang memiliki sifat qana‘ah akan tetap bersyukur, baik dalam keadaan miskin maupun kaya, sehingga hatinya selalu tenteram.
Dalam kehidupan modern, banyak orang mengejar kekayaan dengan harapan bahagia, tetapi justru semakin jauh dari ketenangan. Kisah-kisah ini menjadi pengingat bahwa kebahagiaan sejati bukan terletak pada banyaknya harta, melainkan pada keberkahan dan ketakwaan kepada Allah.
Dengan memahami kisah Julaibib, Sa‘labah, dan Qarun, kita dapat mengambil hikmah bahwa dalam mencari rezeki, kita harus tetap menjaga iman dan takwa. Harta hanyalah alat, bukan tujuan utama hidup. Jika digunakan dengan benar, harta bisa menjadi sarana mendekatkan diri kepada Allah, tetapi jika disalahgunakan, ia bisa menjadi penyebab kehancuran.
Akhirnya, setiap manusia akan diuji dengan harta dalam bentuk berbeda—ada yang diuji dengan kemiskinan seperti Julaibib, ada yang diuji dengan kekayaan seperti Sa‘labah, dan ada yang diuji dengan kesombongan seperti Qarun. Pilihan ada pada kita: apakah kita akan tetap bertakwa seperti Julaibib, tergelincir seperti Sa‘labah, atau hancur seperti Qarun?. Diramu dari berbagai sumber