Jakarta – Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Iblam Jakarta menggelar diskusi publik yang bertema “RKUHP: Disahkan atau Dibatalkan ? yang berlangsung di Kampus A Sekolah Tinggi Ilmu Hukum IBLAM yang beralamat di Jl. Kramat Raya No. 25 Jakarta Pusat. Selasa (8/10/2019.
Pembicara dalam acara diskusi tersebut
mantan Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Bapak Dr. Abdul Haris Semendawai, S.H., LL.M. dengan Dosen STIH IBLAM Bapak Dr. (C) Amsori, S.H., M.H., M.M. Diskusi publik ini dipandu oleh Ketua Yayasan STIH IBLAM Bapak Rahmat Dwi Putranto, S.H., M.H. sebagai moderator.
Penanggung Jawab kegiatan, Berthon Jonathan mengatakan pembahasan mengenai disahkan atau dibatalkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menuai polemik di berbagai kalangan masyarakat.
Sebagian besar masyarakat menolak RKUHP disahkan oleh DPR karena dinilai mengandung pasal-pasal yang multitafsir dan kontroversial.
” Baik mahasiswa maupun masyarakat secara bersama-sama bergerak turun ke jalan untuk menyampaikan aspirasinya yang menuntut RKUHP dibatalkan. RKUHP tidak hanya menimbulkan polemik di dalam negeri, negara-negara seperti Inggris dan Australia bahkan mengeluarkan travel advice bagi warganya yang akan berkunjung ke Indonesia, “ujarnya.
Namun ada juga yang setuju agar RKUHP disahkan karena menilai bahwa KUHP saat ini sudah tidak relevan dengan kondisi dan situasi negara karena telah ada sejak zaman kolonial Belanda.
RKUHP juga mengatur mengenai ketentuan pidana yang tidak diatur dalam KUHP saat ini. RKUHP juga mengatur mengenai eksistensi hukum adat sebagai hukum yang hidup di masyarakat.
Berdasarkan polemik tersebut STIH IBLAM menganggap perlu adanya diskusi publik untuk membahas apakah RKUHP disahkan atau dibatalkan.
“Sehingga pada hari Selasa, 8 Oktober 2019 bertempat di Kampus A STIH IBLAM diadakan diskusi publik dengan tema : “RKUHP: Disahkan atau Dibatalkan ?”,” tuturnya
Dalam diskusi tersebut kesimpulannya yaitu agar RKUHP dibahas dan disempurnakan agar menjadi KUHP yang sesuai dengan norma-norma dan kaidah-kaidah hukum sesuai dengan masyarakat Indonesia.
RKUHP juga perlu untuk dibahas dan disosialisasikan dalam ruang publik agar tidak multitafsir sehingga tidak menimbulkan polemik di masyarakat.