Zainul A. Abidin
Direktur Politika Institute
Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) Zulkieflimansyah (Bang Zul) viral dengan kesederhanaannya tidur di masjid. Tidur di masjid, pertama ditunjukan oleh Bang Zul saat kunjungan kerja alias blusukan di desa Doridungga Kab. Bima. Kemudian Bang Zul kembali tidur di masjid, saat blusukan di Desa Tongo di Kabupaten Sumbawa Barat. Kesederhanaan dengan tidur di masjid dapat dilihat sebagai taktik politik untuk mempertahankan kekuasaan untuk periode kedua.
Menafsirkan sebagai langkah pertama dari langkah selanjutnya untuk menggapai kekuasaan untuk periode kedua tidak lah prematur. Karena dalil politiknya ialah sejak pertama memperoleh dan memegang kekuasaan, seseorang cenderung dalam pikirannya telah tumbuh dan ingin mempertahankan kekuasaan dan kedudukannya kembali.
Selain membagi-bagikan kekuasaan kepada kroni-kroni dan loyalisnya. Sang penguasa juga harus mengusir yang dianggap parasit di tubuh kekuasaanya. Usaha, tindakan, dan kehendak untuk mempertahankan kekuasaan dan kedudukan tersebut, dapat diartikulasikan dalam langkah-langkah strategis dan taktis.
Citra Kederhanaan
Bang Zul saat ini membangun image dan atau citra sederhana. Image dan citra tersebut menjadi bagian dari strategi politik. Hati dan pikiran publik ingin dirasuki dengan kesederhanaannya. Tujuannya agar tetap memperoleh persepsi positif publik. Seolah-olah citra dan image kesederhanaannya ini sebagai langkah berbeda ketika Bang Zul di Pilgub 2018 yang membangun image dan citra pulang dan membangun kampung.
Citra pulang dan membangun kampung tersebut, dapat ditelusuri dengan mendirikan perguruan tinggi di Kabupaten Sumbawa yaitu Institute Teknologi Sumbawa (ITS) dan Institute Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Samawa Rea (IISBUD SAREA). Citra tersebut menopang kemenangan Bang Zul pada Pilgub 2018. Walaupun kemenangan tersebut juga tidak terlepas dari TGB Efeck.
Citra kesederhanaan sesungguhnya mengerucutkan citra anak kampung yang pulang membangun daerah. Kesederhanaan dan anak kampung seolah-olah menguntungkan secara politik, karena didasarkan oleh budaya politik dan situasi sosial masyarakat Lombok dan Pulau Sumbawa yang tradisional dan religius. Anak kampung dan kesederhanaan dieksploitasi betul oleh Bang Zul agar mengakar di benak, hati, dan pikiran masyarakat.
Terutama untuk masyarakat Bima dan Dompu. Bang Zul sudah sangat menguasai pikiran dan hati masyarakat Bima dan Dompu. Karena sejak terpilih menjadi anggota DPR RI tahun 2004 dari Dapil Banten II (Kab. Serang, Kota Serang, dan Kota Cilegon), orang-orang Bima dan Dompu yang rantau menjadi partisan politiknya. Masyarakat Bima hanya butuh dikunjungi, bukan diiming-imingi. Butuh sapaan, bukan sarapan. Artinya Bang Zul hanya membutuhkan kedekatan emosional untuk mendapatkan keperpihakan politik dari masyarakat Bima dan Dompu.
Pada Pilgub 2018, Bang Zul (Zul-Rohmi) tidak mendulang suara yang signifikan dari Suku Mbojo (Bima dan Dompu). Di Kabupaten Bima, dari 230.469 suara sah, Bang Zul hanya memperoleh 60.034 suara atau sekitar 26.05 persen. Di Kota Bima, dari 88.140 suara sah, Bang Zul mendulang 24.392 suara atau sekitar 27 persen. Dan Kabupaten Dompu, dari 116.054 suara sah, Bang Zul mendulang 35.261 suara atau sekitar 30.38 persen. Di Kab Sumbawa dan Kabupaten Sumbawa Barat Bang Zul memperoleh suara mayoritas.
Kepentingan Bang Zul untuk mengorganisasi partisan di Pulau Sumbawa khusus Suku Mbojo agar dapat dikapitalisasi secara totalitas. Bila dikapitlisasi, Bang Zul akan semakin menguat posisi tawar pada Pilgub kedepan. Merujuk data hasil Pilgub 2018, bila ditotalkan seluruh suara sah di seluruh Pulau Sumbawa, ada 740.406 suara. Suara tersebut sebagai basis strategis, yang cenderung dapat mengimbangi kekuatan utama di Pulau Lombok alias Kabupaten Lombok Timur (646.082 suara sah) atau Kabupaten Lombok Tengah (508.330 suara sah).
Lombok Timur dan Lombok Tengah memiliki riwayat konflik yang paten. Baik karena perbedaan organisasi keagamaan (Basis Nadhatul Wathan dan Nadhatul Ulama) yang dianut masyarakatnya maupun konflik antar elite lokalnya. Dua kabupaten tersebut akan cenderung mengusung calon gubernurnya masing-masing, bila diselenggarakan Pilgub di NTB. Maka konflik dan faksionalisasi di Pulau Lombok ini menguntungkan Bang Zul.
Memanfaatkan Masjid
Menjadikan Masjid sebagai latar politik citra sederhana sudah sangat tepat. Masjid menjadi ikonik yang sakral bagi masyarakat NTB. Apalagi untuk masyarakat Lombok. Seolah-olah Bang Zul yang dicitrakan sangat sederhana dengan tidur di Masjid, seperti satu kali dayung dua pulau yang terlewati. Artinya kesederhanaan Bang Zul tidak hanya merasuki hati dan pikiran masyarakat di Pulau Sumbawa, namun juga di Pulau Lombok.
Jadi kemungkinan, kesederhanaan dan memanfaatkan masjid sebagai latar politik mengambil segmen masyarakat kecil. Walaupun Bang Zul memiliki konflik dengan elite dan tokoh-tokoh politik Suku Mbojo, Samawa, dan Sasak, hubungan dengan masyarakat kecil harus tetap terikat, walaupun dengan memanipulasi kesederhanaan sedemikian rupa.
Masyarakat kecil yang budaya politik tradisional di NTB khusus di Lombok, kental dengan tradisi-tradisi keagamaan menjadi bagian untuk dari budaya politik masyarakatnya. Seperti menghormati Tuan Guru, mengikuti ulama, mematuhi pemerintah, dan lain-lain. Dan hal tersebut terlepas adanya hubungan patron dan klien antara Tuan Guru, ulama dengan jemaah atau masyarakatnya.
Namun tidur di masjid, Bang Zul masuk dalam segmen memilih karena taat beragama, sederhana, dan berpihak bersama rakyat kecil. Hal tersebut, Bang Zul mendapatkan limpahan rasa haru, simpati, dan terutama persepsi positif. Memanfaatkan masjid untuk pembagunan citra sederhana seolah-olah sangat baru. Namun tokoh politik yang sangat ahli dalam pencitraan adalah Pak Jokowi, yaitu menggunakan gorong-gorong untuk membangun citra kesederhanaannya.
Dan Bang Zul hari ini menggunakan masjid untuk membangun citra sederhana. Satu kepastiannya, Bang Zul dalam hal ini, kemungkinan membangun citra politik yang dapat menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Melampui batas-batas organisasi, suku, ras, dan agama. Agar dapat mempertahankan kekuasaan di periode kedua.