Kabarlagi.com—Sangat disayangkan, lembaga sekelas Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) kembali berulah dengan mengeluarkan aturan tentang standar pakaian, atribut dan sikap tampang Paskibraka yang dinilai justru bertentangan dengan Pancasila dan melanggar HAM. Banyak pihak yang mempertanyakan, kenapa peserta yang berjilbab tidak dibiarkan mengenakan jilbab? BPIP sebagai lembaga yang menangani hingga menentukan atribut bagi para pengibar bendera di dua momen pengukuhan dan pelaksana 17 Agustus 2024 mendatang harus melepaskan pakaian penutup kepala itu, alias jilbab.
Prof. Yudian membantah bahwa para peserta Paskibraka tidak dipaksa untuk melepaskan hijab, tapi mereka dengan sukarela membubuhkan tanda tangannya di atas materei Rp 10.000 yang menandakan pernyataan tersebut resmi dan mengikat di mata hukum.
Masih menurut Yudian, keputusan untuk menyeragamkan tata pakaian bagi anggota Paskibraka pada tahun 2024 ini memang berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Landasannya adalah tertuang dalam ketentuan dalam Surat Edaran Deputi Diklat BPIP Nomor 1 Tahun 2024. Dalam surat edaran tersebut, tidak terdapat pilihan berpakaian hijab untuk anggota Paskibraka 2024.
Memperkuat alasan di atas, tujuan anggota Paskibraka putri melepas hijab adalah untuk mengangkat nilai-nilai keseragaman dalam pengibaran bendera. Penyeragaman tersebut berangkat dari semangat Bhineka Tunggal Ika yang dicetus Soekarno, beber Yudian.
Jika dibaca sepintas, alasan dan maksud BPIP di atas terkesan bagus dan rasional. Tidak hanya itu, kalimat di atas seolah ingin menegaskan bahwa ada semangat nasionalisme dan cinta tanah air yang kuat. Padahal, jelas-jelas tafsiran tentang ‘Bineka Tunggal Ika’ seperti yang disinyalir oleh ketua BPIP sungguh amat sangat menyedihkan. Sedih karena lembaga negara yang diberi otoritas untuk pembinaan ideologi Pancasila justru menggundang kritikan dari banyak pihak.
Sedih yang kedua adalah BPIP keliru memahami esensi dari ‘Bhineka Tunggal Ika’ yang merawat dan menjaga keberagaman keyakinan. Soekarno, mengatakan saat menghadiri peringkatan hari lahir Piagam Jakarta: ‘Jakarta Charter’ itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!.
Terkait dengan istilah ‘paksa’ dan ‘sukarela’, sebagai ketua BPIP Prof. Yudian berkilah dengan mengatakan bahwa tidak ada yang ‘memaksa’ perserta Paskibraka (putri), tetapi mereka (anggota Paskibraka) dengan sukarela membubuhkan tanda tangan di atas materei 10.000 ribu.
Kalimat tersebut sangat konyol bin ajaib. Pertanyaanya, apa maksud surat pernyataan yang ditandatangani oleh peserta Paskibraka jika bukan dipaksa oleh pihak BPIP?. Selain soal paksa tidak paksa, surat kesediaan yang dibuat sangat bertentangan dengan Pancasila dan melanggar Hak peserta Paskibraka (putri).
Berkaitan dengan hal di atas, Prof. Abdul Mu’ti mengomentari, jika benar-benar terjadi ada pelarangan penggunaan jilbab bagi Paskibraka Putri, maka itu sungguh sangat bertentangan dengan pancasila dan kebebasan beragama.
Dalam pada itu, mengingat dan menimbang di sisi maslahat dan mudaratnya perihal aturan pelepasan jilbab tersebut, penting disadari bahwa BPIP harusnya menjadi role model bagi terbentuknya teladan dalam memberikan contoh bersikap toleran, terhadap perbedaan yang ada.
Jika diijinkan untuk mengajukan logika terbalik, bagaimana kalau semua anggota Paskibraka (putri) itu disuruh untuk menggunakan jilbab?. Kan, alasannya biar seragam! Maka, kenapa tidak dikenakan jilbab semua, biar seragam. Jadi, secara logika pun cacat total.
Ayolah BPIP, jangan bermain api, cukupkan lelucon tak berkelas tersebut. Anda semua dibayar mahal, jangan aneh-aneh. Berjilbab itu sebuah doktrin Agama yang siapapun berani bertaruh nyawa jika ada yang berani mengganggu bahkan dengan dasar aturan apapun.
Penulis: Fahruddin, M.Ag, Ceo NarasKita Publishing