Oleh: Furkan Sangiang
KabarLagi.Com — Kerusakan lingkungan di Bima, khususnya hutan, telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan. Sebuah jurnal ilmiah menunjukkan bahwa kerusakan lahan pada tahun 2020, luasan lahan kritis mencapai 107.038 Ha dan lahan kritis mencapai 40.240,72 Ha serta lahan sangat kritis mencapai 13.841,82 Ha, sedangkan lahan yang tidak kritis atau produktif di Kabupaten Bima pada tahun 2020 yaitu mencapai 10.947,26 Ha.( Wiwit Bayu Adi , Agum Muladi. 2022). Salah satu penyebab utama adalah alih fungsi lahan hutan menjadi area pertanian atau ladang untuk memenuhi kebutuhan menanam jagung. Jika ditelaah, kerusakan lingkungan akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian merupakan masalah serius di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam keberlanjutan lingkungan.
Selain alih fungsi lahan, aktivitas ilegal logging turut memperparah kerusakan hutan di Bima. Penebangan liar yang tidak terkendali membuat pohon-pohon yang berusia ratusan tahun tumbang tanpa ada upaya penggantian yang sepadan. Akibatnya, hutan yang menjadi penopang kehidupan kini kehilangan fungsinya sebagai penjaga ekosistem.Dampak kerusakan hutan di Bima terasa nyata setiap tahun, terutama dalam bentuk bencana banjir yang melanda berbagai wilayah. Hutan yang seharusnya berfungsi sebagai penyerap air kini kehilangan kemampuan tersebut, sehingga air hujan langsung mengalir ke pemukiman dan menyebabkan kerugian besar bagi masyarakat.
Tidak hanya banjir, kerusakan hutan juga berdampak pada hilangnya sumber mata air. Berdasarkan laporan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bima, sekitar ratusan titik mata air di wilayah ini telah hilang sedangkan di NTB ada 400 titik mata air yang hilang. Kehilangan sumber air ini mengancam keberlanjutan kehidupan masyarakat, baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun pertanian.Masalah ini semakin terlihat di wilayah-wilayah yang bergantung pada dam sebagai pusat irigasi, seperti Dam Sumi di Kecamatan Lambu, Roi, dan Dam Pela Parado. Kerusakan hutan di sekitar dam telah menyebabkan penurunan debit air yang signifikan. Jika kondisi ini terus berlanjut, ancaman krisis air di masa depan menjadi sangat nyata.
Selain itu, Program Hutan Kemasyarakatan yang dikelola oleh Kesatuan Pengelolaan Hutan di Bima sebenarnya telah berupaya melakukan untuk memperbaiki kondisi hutan. Namun, hasil yang dicapai masih jauh dari harapan. Bahkan kebijakan pemanfaatan kawasan hutan untuk pertanian jagung telah mengakibatkan banjir dan kerusakan lingkungan yang semakin kritis (Irawansah, 2023). Program kebijakan pemanfaat Kawasan hutan atau (HKM), meskipun memberikan dampak ekonomi positif dalam jangka pendek, namun alih-alih fungsi lahan hutan menimbulkan masalah lingkungan dalam jangka panjang. Pemanfaatan sumber daya alam yang melebihi daya dukung lahan tanpa memperhatikan aspek kelestarian mendorong terjadinya bencana yang merugikan masyarakat (Siliwangi, 2015).
Selama ini beberapa pendekatan dan upaya baik lewat kebijakan dan kegiatan lain dalam hal penyelematan hutan di Bima, cenderung bersifat teknis tanpa melibatkan kesadaran masyarakat secara mendalam. Untuk itu, diperlukan metode baru yang tidak hanya fokus pada penanaman pohon dan program pemanfaatan Kawasan hutan. Tetapi juga pada penanaman kesadaran tentang pentingnya menjaga lingkungan, terutama di kalangan generasi muda. Karena faktor pendorong alih fungsi lahan antara lain pendapatan rendah petani, kemudahan bertani, dan pengalaman (Da Conseicao Veronica, 2020). Maka dibutuhkan pendekatan komprehensif dan terpadu dengan melibatkan partisipasi masyarakat untuk mengatasi masalah ini (Nugroho, 2011).
Salah satu pendekatan yang penting dilakukan yaitu Pendidikan lingkungan berbasis kearifan local, pendekatan ini dapat menjadi solusi untuk menanamkan kesadaran sejak dini. Mengintegrasikan local wisdom Bima dengan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah dapat membantu anak-anak memahami pentingnya menjaga lingkungan sebagai bagian dari kehidupan mereka .Kearifan lokal di Bima sebenarnya memiliki banyak nilai yang mendukung pelestarian alam, seperti tradisi penghormatan terhadap pohon-pohon tua dan sumber mata air. Tradisi ini dapat dihidupkan kembali melalui program pendidikan yang terintegrasi, sehingga anak-anak dapat memahami dan menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Berbagai penelitian juga menunjukan bahwa Pendidikan berbasis lingkungan kearifan lokal merupakan pendekatan penting untuk menanamkan kesadaran lingkungan sejak dini. Integrasi nilai-nilai lingkungan dalam kurikulum, khususnya dalam mata pelajaran PKn di sekolah dasar, dapat meningkatkan pemahaman dan sikap positif siswa terhadap pelestarian lingkungan (Ludiya, 2024).
Selain itu,kesadaran lingkungan harus dimulai sejak usia dini, hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Nadlir dalam penelitiannya tahun 2016, yaitu pentingnya memasukkan muatan kearifan lokal dalam berbagai mata pelajaran tanpa mengganggu materi terbuka yang sudah ada ditekankan untuk memperkuat pemahaman siswa (Nadlir, 2016). Pendekatan ini dapat membantu membentuk generasi yang lebih sadar dan peduli terhadap lingkungan. Anak-anak perlu diajarkan bahwa menjaga hutan bukan hanya soal melestarikan pohon, tetapi juga tentang menjaga kehidupan manusia itu sendiri. Hal ini karena manusia bergantung pada ekosistem yang seimbang untuk keberlangsungan hidupnya.Jika pendidikan lingkungan hanya diarahkan pada orang dewasa, hasilnya cenderung tidak maksimal. Banyak orang tua di Bima telah memiliki pola pikir yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan ekonomi, tanpa memperhatikan dampak lingkungan.
Cara berpikir masyarakat Bima yang masih sangat berfokus pada ekonomi atau antroposentris ini menjadi tantangan dalam hal pelestarian lingkungan. Hal ini juga ditemukan oleh Khairudin dalam jurnal penelitiannya. Di Bima, upaya pelestarian hutan menghadapi kesulitan akibat pemikiran antroposentris yang lebih mengutamakan kepentingan manusia dibandingkan lingkungan (Khairuddin dkk., 2019).Selama pola pikir ini masih dominan, upaya pelestarian hutan akan sulit dilakukan. Melawan pola pikir antroposentris, perlu ditanamkan pemahaman biosentrisme atau etika lingkungan kepada generasi muda. Pendidikan lingkungan hidup berbasis kearifan lokal diusulkan sebagai solusi jangka panjang, melibatkan generasi muda dan menanamkan nilai-nilai pelestarian alam sejak dini (Niman, 2019).Pendidikan ini harus mencakup pemahaman bahwa semua makhluk hidup memiliki nilai intrinsik dan manusia memiliki tanggung jawab untuk menjaga keseimbangan alam.
Sisi lain Kerusakan hutan tidak hanya berdampak pada manusia, tetapi juga pada spesies lain yang hidup di dalamnya. Banyak spesies di Bima yang telah bermigrasi akibat hilangnya habitat mereka. Kehilangan keanekaragaman hayati ini merupakan ancaman serius bagi ekosistem secara keseluruhan.Jika langkah-langkah serius tidak segera diambil, kerusakan hutan di Bima akan semakin parah, Kita memang harus mengakui bahwa konflik antara kepentingan ekonomi dan kesadaran lingkungan seringkali berujung pada degradasi lingkungan yang berkelanjutan, seperti yang terlihat pada aktivitas penambangan timah di Belitung Timur (Haryadi et al., 2020).
Perbandingan Pendidikan Lingkungan dan Kearifan Lokal
Dalam konteks global, pendidikan lingkungan sering kali dilakukan dengan pendekatan yang berbasis pada data ilmiah dan program-program modern seperti reboisasi, konservasi satwa, serta pengelolaan sumber daya air. Di sisi lain, pendekatan kearifan lokal lebih mengedepankan nilai-nilai tradisional yang telah lama dipraktikkan oleh masyarakat setempat. Keduanya memiliki kelebihan dan tantangan masing-masing.
Pendidikan lingkungan modern biasanya memiliki keunggulan dalam hal metodologi yang terstruktur dan berbasis teknologi. Contohnya adalah penggunaan drone untuk memantau kerusakan hutan atau simulasi digital untuk edukasi siswa tentang dampak perubahan iklim. Namun, pendekatan ini sering kali kurang menyentuh aspek budaya masyarakat setempat, sehingga implementasinya tidak selalu efektif.
Sebaliknya, pendekatan kearifan lokal memiliki kekuatan dalam konteks penerimaan masyarakat. Tradisi seperti “ngaji alam” atau ritual penghormatan terhadap pohon dan mata air di Bima, misalnya, dapat dijadikan alat untuk menanamkan nilai pelestarian lingkungan. Pendekatan ini memanfaatkan nilai-nilai yang telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat, sehingga lebih mudah diterima.
Selain itu kearifan lokal juga menghadapi tantangan seperti penambahan penduduk, teknologi modern, dan kebijakan pemerintah (Suhartini, 2009). Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pendidikan modern dan kearifan lokal untuk menghasilkan dampak yang lebih besar (A. Susilo & Yadri Irwansyah, 2019). Salah penelitian juga bahwa upaya menjadikan keunggulan lokal sebagai potensi yang harus terlestarikan melalui pengajaran di sekolahl dan alasan kearifan lokal penting diberikan pada tingkat pendidikan agar peserta didik tidak kehilangan nilai dasar kulturalnya, tidak kehilangan akar sejarahnya serta memiliki wawasan dan pengetahuan atas penyikapan realitas sosial dan lingkungannya secara kultural. (Anisa Dewi Raharja, dkk. 2022).
Metode Penerapan Pendidikan Lingkungan Berbasis Kearifan Lokal
Mengintegrasikan pendidikan lingkungan dengan kearifan lokal, berikut adalah beberapa metode yang dapat diterapkan.
Penguatan Kurikulum Sekolah: Mata pelajaran seperti ilmu pengetahuan alam dapat diintegrasikan dengan nilai-nilai lokal, seperti pentingnya menjaga mata air dan pohon tua sebagai sumber kehidupan. (Rusilowati et al., 2015).
Pelibatan Komunitas: Melibatkan tokoh adat dan masyarakat setempat dalam program pendidikan lingkungan untuk memperkuat relevansi dan penerimaan.Edukasi Interaktif: Mengadakan kegiatan seperti “sekolah alam” yang melibatkan siswa secara langsung dalam konservasi lingkungan, seperti penanaman pohon atau pembersihan mata air. (Nadlir, 2016).
Dokumentasi Tradisi: Mencatat dan mempublikasikan nilai-nilai kearifan lokal melalui media digital untuk mendukung generasi muda memahami pentingnya pelestarian lingkungan.
Dengan pendekatan ini, diharapkan generasi muda di Bima dapat tumbuh dengan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menjaga hutan dan lingkungan secara keseluruhan.