Kabarlagi.Com–Kita sangat khawatir, kalau pilkada tetap ngotot diteruskan, sementara makin meningkat jumlah rakyat yang tumbang karena pandemi ini, belum ada tanda-tanda akan berakhir di Indonesia dan dunia.
Apa yang disampaikan Jusuf Kalla agar “pilkada ditunda, agaknya benar, sampai anti virus ditemukan”, saya sudah jauh-jauh hari hari berpendapat hal yang sama, 3 bulan yang lalu, saya meminta pilkada ditunda saja, jangan sampai kita bunuh diri, celaka semua, akibat salah mengkalkulasi/salah hitung, serta salah dalam melangkah.
Bahasa kita agak keras memang, “pilkada masih bisa ditunda, pemulihan ekonomi masih bisa ditunda, nyawa tidak bisa ditunda kepergiaannya” sementara ekonomi bisa dipulihkan, ratusan dokter yang meninggal karena pandemi tak bisa ditunda, dan tak akan kembali, cerita-cerita di dunia karena pemimpinnya yang tidak tegas, pemimpin yang tak punya kalkulasi matang, pemimpin yang takabur, tak berani mengambil keputusan cerdas menyelematkan dan melindungi nyawa rakyatnya.
Sekarang kita sedih, negara makin gagap, tak punya arah bagaimana menyelamatkan dan melindungi rakyatnya dari ganasnya virus pandemi carona. Wajar WHO marah besar melihat negara-negara yang masih egois, masih memprioritas ekonomi ketimbang menyelamatkan nyawa rakyatnya.
Kita sepakat demokrasi perlu diselamatkan, kita sepakat ekonomi perlu diselamatkan, namun di atas itu semua, nyawa rakyat yang prioritas untuk diselamatkan, untuk apa pemulihan ekonomi, untuk apa demokrasi, kalau rakyat menjadi tumbal, karena cluster pilkada yang makin mengkhawatirkan, ini namanya mati celaka.
Memang lucu tingkah elite/pejabat kita, virus carona kembali merebak, Selandia baru tunda pemilu, di Indonesia beda lagi lagunya, mulai dari presiden Jokowi, KPU dan hampir semua parpol kompak satu suara mengatakan pilkada makin sulit untuk ditunda, Selandia Baru level pilpres saja mereka tunda, itu lah menggapa saya mengatakan sebuah lelucon politik, mari kita tertawa bareng, supaya elite/pejabat makin sehat cara berfikirnya, makin waras dalam mengambil keputusan strategis/penting dan tidak blagu.
Pemilihan kepala desa bisa ditunda, dengan pelbagai alasan, menggapa pilkada ngak bisa ditunda? Apa bedanya pilkada dengan pilkades? Kalau alasan pilkada dipaksakan hanya karena kalkulasi hitung-hitung pertumbuhan ekonomi, pilkada bisa meningkat daya beli, terjadi sirkulasi jumlah uang ke tengah masyarakat, belanja pembuatan spanduk, baliho, alat peraga, dan lain-lain, belanja pilkada meningkat, uang menyebar, menurut saya ini jelas alasan yang kurang tepat. Apakah Pilkada dan pemulihan ekonomi harus mempertaruhkan keselamatan jowa rakyat.
Lalu ada juga sebagian elite khawatir kalau pilkada ditunda, maka kepala daerah sekarang, rata-rata selesai masa jabatannya bulan Februari 2021, itu artinya akan ada sekitar 240 kepala daerah plt, apa betul plt kepala daerah di masa krisis kurang tepat? dalam hal ini dinggap menguntungkan kemendagri yang menunjuk plt kepala daerah, di masa krisis, dan plt tak bisa mengambil keputusan/kebijakan strategis.
Solusinya banyak, sementara dipilih DPRD, bisa juga Gubernur ditunjuk presiden sebagai perpanjangan pemerintah daerah, mungkin saja sementara plt bupati/walikota ditunjuk Gubernur, masih banyak pola-pola lainnya, asal punya itikad baik, selalu ada jalan dan kemudahan. Namun jangan sampai menjadikan rakyat sebagai tumbal demokrasi, demi menyelamatkan demokrasi, demi elektoral, biar rakyat mati, ini jelas ngak lucu.
Banyak sudah regulasi/aturan main, himbauan agar tidak boleh ada kerumunan, ngak boleh ada arak-arakan, ngak boleh ada pengumpulan massa, ngak boleh ada konser, dibatasi jumlah acara face to face yang mengumpulkan warga, tetap saja, lagi-lagi yang namanya peraturan, regulasi, undang-undang, hanya indah di kata-kata naskah teks, prakteknya, penegakan sangsinya berujung pada kompromi dan nego politik.
Buktinya banyak calon kepala daerah yang melanggar protokol kesehatan ketika pendaftaran bakal calon kepala daerah ke KPU, beramai-ramai, berkerumunan, tidak lagi mematuhi protokol kesehatan, pertanyaannya apakah berani dis-kualifikasi calon tersebut? Bagaimana kalau nanti yang melanggar ditemukan anak presiden dan menantu presiden yang kebetulan ikut dalam kontestasi elektoral pilkada, apakah berani menindak dan memberikan sangsi? Lagi-lagi ujungnya kompromi politik. Belum lagi, alasan KPU bicara bukan kewenangan institusi mereka soal menertibkan, bukan masuk wilayah pekerjaan kami, kami dibatasi undang-undang lah, macam-macam alasan, intinya bahasa keputus-asaan, sementara cluster pandemi pilkada makin mengerikan.
Sudah banyak suara intitusi, pakar dan tokoh yang meminta pilkada ditunda, mulai dari Komite I DPD RI, Perludem, PBNU, Muhammadiyah, Komnas HAM, Jusuf Kalla, Gubernur Banten Wahidin, Pakar Pemilu UGM Abdul Gaffar Karim, Analisi Politik Pangi Syarwi Chaniago dan masih banyak lagi yang menyusul meminta pilkada ditunda saja, pilkada ditunda bukan-lah aib, justru ini pekerjaan yang mulia, menyelamatkan kesehatan dan jiwa masyarakat. Ini memang bukan pilihan yang mudah, kita khawatir pilkada yang berujung pada bencana, pilkada kali ini tidak terlalu di harapkan rakyat.
Kalau tetap pilkada dipaksakan untuk diteruskan di tengah pandemi, jelas ini bukan pilkada yang mudah, kondisi yang tidak normal, kuat-kuatan soal daya tahan tubuh, kuat-kuatan logistik untuk berfikir melakukan beli suara rakyat (vote buying) atau main di ujung untuk serangan fajar. Belum lagi, kampanye daring, kampanye digital atau online juga tidak mudah, karena tidak meratanya sinyal di daerah, sehingga pilkada ini tak akan berkualitas, calon kepala daerah tidak maksimal menyampaikan program, visi dan misi kepada masyarakat karena terbatasnya ruang gerak untuk menyapa dan menyalami masyarakat.
Oleh karena itu, negara akan beribawa, akan berkelas memang apabila menyelamatkan dan melindungi nyawa rakyat menjadi skala prioritas kelas wahid, pemulihan ekonomi bisa ditunda, pilkada bisa ditunda, tapi nyawa rakyat tak bisa ditunda. Semoga!!!
Pangi Syarwi Chaniago
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting